Mengapa Banyak Orang Batak Ngotot Punya Anak Lelaki

ANAK LAKI-LAKI atau perempuan itu sama saja. Apa betul? Ungkapan ini sudah menjadi sesuatu hal klise yang sering didengar di kalangan keluarga muda. Biasanya pembicaraannya dimulai seperti ini, “Wah selamat ya sudah punya momongan.” Lalu, “Anaknya laki-laki atau perempuan?” Kalau kebetulan sudah tahu momongannya laki-laki maka jawabannya, “Wah hebat ya.” Tapi kalau perempuan maka jawabannya “Ah, laki-laki atau perempuan sama saja kok”. Tidak jarang komentar selanjutnya yang sering diucapkan, “Coba saja terus kok, nanti juga dapat yang laki-laki”. Memangnya pabrik boneka apa, disuruh produksi terus?!

Di kalangan orang Batak, mempunyai anak laki-laki itu jelas ada bedanya. Keinginan orang Batak untuk HARUS memiliki keturunan laki-laki, menurut pendapat saya sudah bukan pada tempatnya lagi. Dalam membesarkan anak (atau anak-anak) yang dilihat bukan hanya dari segi kuantitas namun yang paling penting adalah dari segi kualitas. Apakah kita mampu menghidupi dan membesarkan anak (atau anak-anak) yang dititipkan Tuhan kepada kita?

Bagi anda yang merasa tidak ada bedanya untuk memiliki anak laki-laki atau perempuan, saya salut, karena pandangan tersebut tidak termasuk dalam mayoritas.

Saya tidak meminta pembaca untuk mempunyai pandangan yang sama 100 percent dengan saya. Terus terang saya tidak ada masalah dengan orang tua yang mempunyai anak laki-laki. Atau dengan anak laki-laki itu sendiri. Saya sendiri bersaudara tiga, semuanya laki-laki. Bagi saya anak laki-laki atau perempuan itu tidak ada bedanya. Pernyataan yang sering membuat kuping saya panas adalah pernyataan orang-orang yang justru beranggapan kalau mempunyai anak laki-laki itu sebagai sesuatu yang “lebih” ketimbang mempunyai anak perempuan.

Berikut ini adalah beberapa contoh pengalaman yang saya dengar dari keluarga Batak dalam usahanya mendapatkan anak laki-laki. Ada keluarga muda yang sudah dikaruniai tiga anak-anak yang ternyata semuanya perempuan. Lalu sang suami meminta istrinya untuk bersiap-siap hamil lagi. Sang istri sebenarnya tidak ingin mengandung lagi, tapi karena tekanan dari keluarga sang suami untuk mencoba terus sampai mendapatkan laki-laki akhirnya dia mengalah juga.

Lagi cerita, ada pasangan yang sampai anak keenam terus mencoba, lalu lahirlah si “ucok” (bayi laki-laki). Karena sayangnya sang bapak sama si bontot ini maka yang lima lainnya menjadi dikesampingkan. Mereka seperti menjadi anak tiri dari bapaknya sendiri. Lalu saat si “ucok” berumur 3 tahun, sakitlah dia dan tak lama kemudian meninggal. Bagi sang bapak yang ditinggalkan, habislah sinar kebahagiaannya karena anaknya yang laki-laki sudah meninggal. Padahal anak-anaknya yang perempuan masih hidup. Sayangnya dia tidak bisa melihat itu. Betapa sedihnya.

Masih dengan cerita; Ada keluarga yang anak-anaknya banyak perempuan, dan satu laki-laki. Pada suatu hari, saudara dari sang bapak datang untuk meminta bagian harta. Katanya harta sang bapak seharusnya dibagi-bagi terhadap anak laki-laki dari satu ompung (kakek) ketimbang anak perempuannya sendiri. Dengan kata lain anaknya sebenarnya hanya satu, karena satu anak laki-lakinya.

Cerita lain; Ada suami yang ingin menceraikan istrinya karena anak-anak yang dilahirkannya adalah perempuan semua sehingga dia berniat menanam benih di tempat yang lain. (Kalau yang ini saya bisa mengambil kesimpulan jika tujuan sang suami hanya ingin bercabul saja.)

Bagi mereka yang telah mengenal saya secara pribadi, mereka dapat mengambil kesimpulan jika perbedaan itu tidak ada di keluarga kami. Satu hal yang kami selalu ajarkan kepada kedua putri kami adalah jika mereka tidak ada bedanya dengan laki-laki. Mereka mendapat kesempatan yang sama untuk berhasil di dunia. Sama derajatnya. Sama martabatnya. Sama harganya.

Kami selalu mengingatkan kepada mereka kalau mereka jangan pernah mau dibual-bualin oleh siapa saja hanya karena mereka perempuan. Tidak boleh sekalipun orang menganggap derajatmu rendah hanya karena kamu tidak sama dengan anak-anak lain disekitarmu. Kelahiran anak di suatu keluarga adalah suatu anugerah. Itu saja. Tidak ada yang lebih berkuasa dari Dia yang telah berbaik hati menitipkan kasihNya didalam suatu keluarga. Melihat anak-anak yang sehat sebenarnya sudah merupakan pemberian yang tidak ada habisnya untuk disyukuri.

Sekarang pertanyaan bagi mereka yang berpendapat kalau memiliki anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan, “Apakah keuntungannya memiliki anak laki-laki?” Yang saya tahu pasti adalah kalau mempunyai anak laki-laki itu dapat meneruskan marganya kepada keturunan berikutnya.

Baiklah. Lalu apa lagi keuntungan memiliki anak laki-laki? Untuk menjadi dokter? Tidak juga. Ada banyak dokter yang perempuan. Untuk menjadi petani supaya dapat membantu di ladang sambil mencangkul? Tidak juga. Saya melihat justru banyak wanita yang turun di ladang saat saya berkunjung ke Tarutung. Untuk menjadi insinyur? Atau ahli komputer? Atau mungkin pengusaha? Semua profesi tersebut ada yang perempuan. Dan banyak pula. Nah, kalau begitu kenapa harus punya anak laki-laki? Mari diingat pertanyaan tersebut dan ikuti cerita saya di bawah ini.

Di awal tahun 2007 ini saya mendapat kesempatan untuk pulang ke Tarutung, tempat dimana ompung (kakek) saya dulu pernah ditugaskan di gereja di sana. Tujuan perjalanan ini adalah untuk memperkenalkan anak-anak saya terhadap keluarga serta kerabat dekat yang masih hidup. Terus terang, saya dan istri ingin melakukan ini semua demi untuk membahagiakan orang tua dari kedua belah pihak.

Dalam kunjungan ini kami ingin agar anak-anak dapat belajar tentang asal-usul dan sejarah Batak, dan melihat dari dekat tentang kehidupan di tanah leluhur untuk menambah wawasan mereka. Kalau diingat, sungguh suatu perjalanan yang panjang mengingat kami yang datang dari perantauan yang jauh.

Singkat cerita (karena memang banyak cerita yang kami alami saat dalam perjalanan kesana. Salah satunya yang ini), kami akhirnya tiba di Tarutung -kota indah yang tidak kalah daya tariknya dengan kota-kota lain yang pernah saya kunjungi di belahan dunia lain.

Setelah acara perkenalan di gereja selesai, kami sekeluarga diajak ke aula di samping gereja dimana pesta sudah menunggu. Selang beberapa jam, akhirnya tibalah pada acara mandok hata. Pada saat inilah satu persatu perwakilan dari keluarga dan unsur masyarakat memberikan kata sambutan dan sepatah dua kata (tidak tahu kenapa, mungkin karena pengaruh pesona memegang microphone, satu dua patah kata berujung menjadi 100 kata).

Setelah disimak, ternyata ada dua poin yang selalu diulang-ulang. Pertama: Ungkapan kebahagian mendapatkan kunjungan dari kami yang merantau ini. Dan kedua: Doa bagi istri saya dan saya sendiri untuk segera mendapatkan anak laki-laki alias si “ucok” agar supaya keluarga saya dapat menjadi lengkap.

Doa untuk mendapatkan apa?! Lho memangnya dua anak perempuan saya yang hadir saat itu tidak memberikan kebahagian terhadap istri saya dan saya sendiri? Jadi memiliki anak perempuan itu belum dianggap lengkap? Karena setengah nilainya? Dan hanya dapat menjadi lengkap setelah kehadiran si “ucok”?

Sebagai ungkapan rasa hormat, saya tidak berusaha untuk mengambil mic yang mereka pakai untuk memberikan kata sambutan tersebut. Saya hanya diam saja. Walaupun sebenarnya saya sudah mulai gerah karena “nyolot”. Di dalam hati saya bertanya, “Apakah orang-orang seperti ini yang ingin anak-anak perempuan saya banggakan?” Orang-orang yang berpikiran jika perempuan mempunyai harga yang kurang dari laki-laki?

Kembali kepada pertanyaan di atas tadi. Jadi apa gunanya mempunyai anak laki-laki? Menurut saya, jawabannya tidak ada. Karena pertanyaan demikian berasal dari orang-orang yang melihat anak itu sebagai suatu obyek (seperti benda). Seperti layaknya memamerkan apa yang seseorang miliki.

Di dunia yang penuh dengan slogan materialistik tidak mudah untuk membedakan karakter baik dari yang jahat, menarik nilai abadi dari nilai sesaat, namun bagi mereka yang masih berkeinginan untuk memiliki apa yang kata hati mereka bisikkan tidak pernah ada yang terlambat. Pertanyaannya sekarang adalah, “Apa yang patut dilakukan sekarang?”

Hargailah anak-anakmu, cintailah mereka dengan seksama, jangan campur-adukkan tradisi dengan kebenaran. Mulailah berpikiran tentang kualitas apa yang hendak diturunkan sebagai “legacy” terhadap anak-anak. Mulailah kita berpikir yang lebih maju dan bijaksana. Dan berjanji untuk melihat individu sebagai suatu keseluruhan dan bukan layaknya seperti benda.

Semoga melalui tulisan ini ajakan saya bagi halak (orang) Batak untuk bisa merubah pola berpikir yang picik, dan membuang jauh-jauh dari tradisi orang Batak. Anak laki-laki atau perempuan adalah SAMA. 


Sumber :

1 komentar:

  1. Didalam satu keluarga atau semua orang yang sudah berkeluarga mengiginkan memiliki anak laki laki dan perempuan, terutama bagi suku batak. karna pilosofi suku batak ada 3 yaitu: HAGABEON, HAMORAON DAN HASAGAPON. suku batak pertama harus mendapat HAGABEON jadi harus punya anak laki-laki dan Perempuan. bagi suku batak kalau di dalam satu keluarga semuaya anakya laki-laki atau semuaya anakya perempuan keluarga itu belum mendapatkan HAGABEON. jadi pada prinsipya laki-laki dan perempuan sama. kalau memang tuhan tidak memberi kita anak laki-laki atau anak perempuan dan kita harus ngotot memilikinya, itu udah salah dan itu udah DOSA yang besar, kita mengiginkan yang tidak diberikan tuhan sama kita. kalau masalah anak laki2 atau perempuan pasti ada bedanya...yah memang suku batak mengiginkan punyak anak laki-laki karna dari situlah di buat garis keturunan dan itu sudah dimulai dari nenek moyang. kekurangan laki2 batak dan keluarga adalah tidak berterimanya kalau tidak dikaruniani anak laki2. cenderung yang disalahkan si istri. karna dia pikir yang memberikan keturunan adalah istri (itu salah total). yang memberikan keturunan adalah tuhan yang maha kuasa. saya sendiri memang bersukur sama tuhan dikaruniai 3 anak, 1 laki2 dan 2 perempuan. yah saya akui memang saya mengiginkan ada anak laki2 tapi bukan untuk garis keturunan yang paling utama, saya hanya takut di garis keturunan saya yang ketiga dan ke empat tidak ada yang perduli pada makam/kuburan saya, kemungkinan besar makam/kuburan kita bisa2 di buang orang karna tidak ada yg peduli. keturunan kita yg ke empat gak tau lagi marga apa atau suku apa karna kemungkinan besar mereka sudah peduli pada keluarganya yg paling dekat. hanya disitu aja sakitnya klau tidak punya keturunan anak laki2. mungkin karna itulah yg dipikirkan suku batak membuat makam keluarga atau yang biasa disebut TAMBAK.intinya menurut saya anak laki2 dan perempuan sama dan tidak perlu dipersoalkan. sukurilah pemberian tuhan.

    BalasHapus