Nama Orang Batak dan Artinya

Masyarakat Batak memiliki nama-nama yang khas yang memiliki arti dan makna tersendiri bagi orang tua dan keluarga, nama bisa membawa hal-hal yang baik, keberuntungan, dari nama juga bisa diketahui dari mana seseorang itu berasal.

Berikut ini beberapa Nama Khas Orang Batak Toba dan Artinya

Nama Laki-laki:
  1. Agam = memikir, menduga, menyangka
  2. Anggiat = semoga, mudah-mudahan, supaya, agar, kiranya,
  3. Anju = berlaku sabar, bersabar hati, toleran, berlapang hati;
  4. Batara = gelar dewa Batak
  5. Benget = tabah, tekun
  6. Binsar = terbit
  7. Bonar = benar, jujur, adil, tulus hati
  8. Bungaran = makmur, meningkat, contoh daerah, perdagangan
  9. Dame = damai
  10. Domu = berkumpul, cocok, kompak, rujuk, temu, rapat, serasi, sesuai
  11. Gabe = jadi, menjadi sesuatu
  12. Gomgom = memerintah, menguasai, mengayomi
  13. Halomoan = yang disukai, kesukaan
  14. Hamonangan = kemenangan
  15. Haposan = percaya, tidak bimbang,
  16. Hobas = siap sedia, menyiapkan
  17. Hotmian = sangat kuat
  18. Ihut / Pangihutan = ikut, mengikuti, yang diikuti, teladan
  19. Ingot / Parningotan = ingat, yang diingat, pengingat
  20. Jogi = bagus, cantik, ganteng, tampan
  21. Lambok = lembut, kelembutan
  22. Lamhot = makin kuat
  23. Linggom = berteduh
  24. Lintong = telaga, kolam yang dalam
  25. Luhut = semua sekalian, berkumpul, bersama, seluruh;
  26. Marasi / Asi = menaruh belas kasihan, kasih
  27. Marisi = berisi
  28. Martua =
  29. Maruli = memperoleh sesuatu, beruntung
  30. Monang = menang
  31. Naek / Marnaek = naik, mendaki, memanjat
  32. Olo = iya, mau
  33. Paima = tunggu, menunggu
  34. Pardamean = perdamaian
  35. Pandapotan = mendapat, menemukan, orang pada siapa seseorang bergantung, pendapatan
  36. Pardomuan = berkumpul, cocok, kompak, rujuk, temu, rapat, serasi, sesuai
  37. Parmonangan = kemenangan
  38. Parlindungan = tempat perlindungan
  39. Parlinggoman = tempat berteduh
  40. Parsaoran = perkumpulan, berkumpul
  41. Parulian = keberuntungan
  42. Pasu = berkat
  43. Patar = jelas dan mudah terlihat:at, terang, tidak ada yang tersembunyi, terbuka, transparan, nyata
  44. Patudu = tunjukkan
  45. Pintor = lurus, betul, benar,jujur,
  46. Poltak = terbit
  47. Posma =
  48. Ruhut = tatanan, kaidah, adat istiadat, tata aturan
  49. Sahala = wibawa, kharisma
  50. Sahat = tiba, sampai
  51. Saor = perkumpulan
  52. Saut = jadi, terjadi
  53. Sihol = rindu
  54. Sintong = benar, tepat
  55. Tigor = lurus, jujur, adil, tulus, pantas, patut
  56. Togap = kuat, kekar, tokoh.
  57. Togar = tegar, segar, bugar, kuat
  58. Togi = ajak, mengajak, mengerahkan, memimpin, menuntun
  59. Tua = dihormati
  60. Tumpak = santunan, sumbangan, bantuan, sokongan, pertolongan, tunjangan;
  61. Tumpal = sejenis detar, mahkota, berhiaskan mutu manikan; manumpalhon: menabalkan, melantik, memahkotai
  62. Tungko =
  63. Tupa = lurus, jujur, adil, tulus, pantas, patut

Nama Perempuan:
  1. Dame = damai
  2. Dosma = sama, serupa
  3. Duma = makmur, sejahtera
  4. Hasian = kekasih, tersayang
  5. Hasiholan = yang dirindukan, kerinduan
  6. Hotma = kuatlah, erat
  7. Jojor = teratur
  8. Lamtiar = semakin jernih
  9. Lamtiur = semakin terang, cerah
  10. Lasma =
  11. Rodearma = semakin baik
  12. Rodearni = semakin baik
  13. Roha =  hati, jiwa
  14. Roma = datanglah
  15. Romauli = datanglah cantik
  16. Rondang =
  17. Rugun =
  18. Sondang = cahaya, sinar, terang
  19. Tiar = terang, jernih
  20. Tio = jernih
  21. Tiur = terang, cerah, tanpa gangguan
  22. Uli = cantik, elok

Tapangke ma Hata Batak i

Asa Unang Mago Tapangke ma Hata Batak i



Pandok ni UNESCO (ima sada badan ni Sarikat ni Angka Bangso na mamingkirhon taringot tu parsingkolaan, parbinotoan dohot kebudayaan), diparetonghon naeng rasip manang siap ma 2500 bahasa manang parhataan ni jolma di portibi on.
Amang oi, dangol na i ake. :-) Holan tinggal 6000 bahasa nama na adong di portibi on jala di bagasan tolu pulu taon na parpudi on lobi do sian 200 bahasa mago tu tano songon dinosaurus i najolo.

Jala na binoto (Daniel T.A. Harahap di rumametmet.com), hita di Indonesia on ma sada bangso na mansai mamora taringot tu bahasa manang parhataan. Lobi sian 500 bahasa adong di luatta Indonesia na maragam on, jala dua ratus sian i di Papua do ingananna.

Beha do molo bahasa Batak ?
Nunga leleng sai binege holso dohot sarita ni angka natuatua lam tu otikna nama angka sundut na umposo na mangantusi hata Batak. Ra satolop do hita disi. Sungkunsungkun di rohaniba: boasa?
Boasa ndang dihasiholi angka naposo jaman nuaeng be mangguruhon hata Batakta i?
Jala angka natuatua sandiri boasa ndang diharingkothon mangajari ianakhonna asa diboto marhata Batak?
Ai molo sai dipasomalsomal nasida marhata Batak tu ianakhonna sian na metmet (unang holan di tingki muruk) tontu diantusi dakdanak i hata Batak i nang dung balga ibana, jala lam holong ma rohana di adat batak i?

Beta hita marhata batak, ai harugian bolon do hita saluhutna nang di hajolmaon pe molo mago bahasa batak i sian portibi on. Asa unang mago manang rasip ingkon ujionta do mambahen hata batak i ndada holan “bahasa lisan” (panghataion, pollung, kombur) alai dohot do “bahasa tulisan” (panuratan). Beha didok rohamuna, angka dongan Batak...

Beta rap marsiajar hita hata Batak, roma hamu angka dongan tu son : https://www.facebook.com/groups/hbatak/

-----------------------------------
istilah di hata Batak :
rasip, siap = musnah, punah
gurat = goresan, coretan
gurit = tulisan cukilan di bambu
manggunjal = bergejolak
pollung = omongan kosong
-----------------------------------

Nenek Moyang Bangso Batak


Nenek Moyang Bangso Batak dari Suku Mansyuria (Manchuria)

Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalahnya berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen” dalam seminar yang digagas DPP Kesatuan Bangso Batak Sedunia (Unity Of Bataknese In The World) di Medan beberapa waktu lalu, dengan menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc (Lektor Kepala/Research Majelis Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara), Drs S Is Sihotang MM (mantan Bupati Dairi), dan Nelson Lumban Tobing (Batakolog asal Universitas Sumatera Utara).

Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak, mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak menurutnya berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia. Nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria (Manchuria) yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Dari peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar. Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar.

Setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini. Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria berlayar menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh. Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.

Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan dari para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh. Fakta ini diketahuinya dan dibuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand. Pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach (Rithingking Anhtropology ) mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.

Dari kajian literatur itu, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun. Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak.

Dari sejumlah literature itu, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini. Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi. Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpiliharan dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak.

Salam Khas Batak

Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya

1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puan batak:

1. Dalihan Na Tolu (Toba)
• Somba Marhula-hula
• Manat Mardongan Tubu
• Elek Marboru

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola)
• Hormat Marmora
• Manat Markahanggi
• Elek Maranak Boru

3. Tolu Sahundulan (Simalungun)
• Martondong Ningon Hormat, Sombah
• Marsanina Ningon Pakkei, Manat
• Marboru Ningon Elek, Pakkei

4. Rakut Sitelu (Karo)
• Nembah Man Kalimbubu
• Mehamat Man Sembuyak
• Nami-nami Man Anak Beru

5. Daliken Sitelu (Pakpak)

• Sembah Merkula-kula
• Manat Merdengan Tubuh
• Elek Marberru

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku ‘raja’. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Putra Batak Saling Berbagi Saling Bercerita

Saling Berbagi Saling Bercerita

Masyarakat Batak sangat menjunjung tinggi adat dan kebiasaan positif di mana pun mereka berada. Prinsip “Dalihan Na Tolu” merupakan akar kuat dalam bermasyarakat dan berinteraksi dengan keluarga yang menjadi ciri khas spesifik masyarakat Batak yang tidak dimiliki oleh suku atau bangsa lain. Prinsip itu juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan di Brisbane Australia. Komunitas Batak yang ada di Brisbane menganggap bahwa mereka adalah satu keluarga, sehingga sudah selayaknya saling menghormati, dan saling mendukung di tanah orang. Mengenai acara-acara adat, umumnya masyarakat Batak mengadakannya di Bona Pasogit, seperti pesta pernikahan. Hal ini karena komunitas batak yang ada di Brisbane tidak terlalu banyak. Namun, setelah acara di Bona Pasogit tersebut, biasanya akan diadakan acara kebaktian atau ibadah di Brisbane. Seperti ibadah bulanan WKI, diisi dengan acara saling berbagi, saling bercerita dan tentu saja yang terutama, beribadah.

Mahasiswa Batak yang studi di University of Queensland biasanya menyumbang lagu pujian di setiap ibadah bulanan WKI. Selain itu, masyarakat Batak yang ada di Brisbane juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan seni dan kebudayaan. Salah satu yang sangat terkenal di Brisbane adalah “ Angklung Performance “. Di setiap acara-acara besar dan juga acara kesenian, selalu ada permintaan untuk menampilkan permainan angklung, dan masyarakat Brisbane sangat menghargai dan mengapresiasi kesenian dan budaya yang sangat beragam dimiliki oleh Indonesia.

Saat ini sedang didiskusikan untuk membentuk kelompok kesenian Batak, yang dapat menampilkan tarian tor-tor ataupun lagu dalam bahasa Batak. Lebih lanjut, ada keinginan dari mahasisa dan mahasiswi Batak yang ada di Brisbane untuk membentuk suatu organisasi resmi komunitas Batak, dan tentu saja hal ini perlu didiskusikan dengan orang tua Batak yang ada di Brisbane.

ANAKKON HI DO HAMORAON DI AHU

Salah satu prinsip atau tradisi turun-temurun masyarakat Batak yang sangat membanggakan adalah prinsip “anakkon ki do hamoraon di ahu”. Dimanapun orang Batak berada, prinsip yang sudah menjadi salah satu falsafah hidup orang Batak ini, selalu menjadi patokan yang mendasari aktivitas atau motivasi mereka dalam mendidik anak-anaknya. Sebisa mungkin, pendidikan bagi anak-anaknya diberikan hingga ke jenjang yang paling tinggi, atau memberikan pendidikan seni sesuai dengan talenta atau keterampilan anak-anaknya.

Pak Pantun Sihombing, misalnya, memberikan les atau keterampilan bermain piano bagi putrinya, dan mendapat ujian atau sertifikasi dari pemerintah setempat. Putrinya yang sangat mahir bermain piano ini sering diundang pada acara-acara ibadah atau kegiatan lainnya. Meskipun usianya masih sangat belia, namun dengan talenta, kemampuan berbahasa Inggris dan pemahaman notasi yang luar biasa, bukan hal yang mustahil akan muncul pianis Batak andalan dari Australia. Dan inilah yang juga menjadi harapan orang tuanya, dengan memberikan kesempatan untuk belajar seluas-luasnya kepada putra dan putrinya.

Pertemuan-pertemuan, saling berkomunikasi dan beribadah merupakan salah satu kunci untuk dapat bertahan di negeri orang. Selain itu, pemeliharaan Tuhan juga patut disyukuri. Salah seorang anggota masyarakat Batak mengatakan bahwa doa dan perenungan akan Firman Tuhan serta iman kepada Allah yang hidup merupakan modal utama dan bekal hidup untuk dapat berhasil dan bertahan di negeri orang. Salah seorang pemuda Batak yang tergabung dalam komunitas Batak Brisbane tersebut memberikan salah satu ayat Alkitab yang menjadi pegangannya dalam merantau, yakni Yosua 1:8 “Unang meret buku ni patikon sian pamanganmu, sai pingkirpingkiri ma i arian dohot borngin, asa diradoti ho, jala dipatupa ho, hombar tu sude na tarsurat di bagasan i, asa maruntung ho di angka dalanmu, jala marmulia parulaonmu”.

Itulah sekilas mengenai kehidupan dan aktivitas masyarakat Batak yang terdapat di Brsibane, Australia. Tentu saja, untuk mempertahankan eksistensinya, selain berinteraksi dengan sesama warga Indonesia, hubungan dengan masyarakat Australia juga mutlak diperlukan. Dan, tentu saja, tradisi turun temurun yang menjadi ciri khas orang Batak tersebut tetap dipertahankan dan dilaksanakan dimanapun mereka berada. Horas!

FILOSOFI RUMAH BATAK

Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yg dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yg melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yg mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.

Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yg terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yg diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.


Proses Mendirikan Rumah.

Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yg diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yg diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dsb yg diperlukan.

Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yg dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.

Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.

Biasanya tahapan yg dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yg digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yg diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.

Kayu yg suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yg seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.

Tahapan selanjutnya yg dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yg pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yg mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.

Salah satu hal penting yg mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yg kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yg mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yg berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit jungjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yg dibantu beberapa tiang penopang yg lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yg bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yg mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.

Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yg mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yg berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yg harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yg disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yg letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.

Dibawah atap bagian depan ada yg disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yg layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yg Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama import disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yg dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.

Di sebelah depan bagian atas yg merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yg kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yg mengatakan “Kalau ada jarum yg patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yg salah jangan disimpan dalam hati”.

“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yg membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan “list plank”. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yg menahan atap yg terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yg sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yg berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yg selalu peduli terhadap apa yg terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan

Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yg dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yg disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yg mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”

Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yg disebut dengan “talaga”. Semua yg kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tsb. Karena itu ada falsafah yg mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yg dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yg tercela atau perbuatan yg dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.

Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tsb dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yg empunya rumah ruangan tsb digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.

Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yg disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yg tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yg mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.

Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yg kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah parapara dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yg mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yg artinya kira-kira jika manusia yg bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yg adil dan selalu diayomi.

Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yg berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yg berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.

Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yg cepat aus menandakan bahwa tangga tsb sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yg punya rumah adalah orang yg senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tsb ramah. Tangga tsb dinamai dengan “Tangga rege-rege”.


Sumber artikel: http://batakbonapasogit.blogspot.com
Sumber gambar : http://pustahabataktoba.blogspot.com/p/blog-page_7.html